Kategori
Berita MTQ

SEJARAH MUSABAQOH TILAWATIL QUR’AN (MTQ) DI INDONESIA

Pendahuluan

Festival keagamaan atau pementasan agama merupakan perpaduan antara dogma dan informasi, ritual dan penampilan, kesalehan dan politik, serta menjadi kebiasaan yang bernilai religius yang dibingkai sebagai tontonan publik. Praktik keagamaan ini mencerminkan tontonan publik dan juga “festivalisasi keagamaan” sebagai sebuah fenomena.

Ketika mendengar kata festivalisasi al-Qur’an, maka yang pertama kali terbersit dalam benak penulis adalah Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) yang merupakan program rutin dari Lembaga Pengembangan Tilawah al-Qur’an Indonesia (LPTQ). Musabaqah Tilawah al-Qur’an tersebut memperlombakan beberapa segi kemahiran dalam bidang al-Qur’an yang telah menjadi tradisi positif serta dilembagakan. Event ini mengeksplor “pembacaan al-Qur’an” yang berhubungan dengan seni Islam, yang termanifestasi sebagai suatu praktik asli ke-Indonesia-an yang berskala nasional.  Dalam skala regional, nasional dan internasional di Indonesia, pelaksanaan kegiatan ini selalu mendapat sumbangan moril dan juga dukungan finansial dari pemerintah serta para sponsor. Pelaksanaan kegiatan dwi-tahunan itu pun selalu berlangsung meriah.

Adanya kompetisi al-Qur’an ini merupakan salah satu bentuk resepsi estetis dari masyarakat, yang kemudian dipatenkan oleh pemerintah sebagai agenda rutin dimana masyarakat dari segala lapisan dapat turut serta untuk meramaikan kegiatan yang diadakan setiap dua tahun sekali ini. Konsep resepsi estetis adalah bagian dari teori sastra. Resepsi adalah penerimaan atas sebuah teks sastra, termasuk di dalamnya teks suci al-Qur’an dan efek yang dihasilkan. Adapun kajian tentang efek sebuah teks, dalam teori resepsi, harus mengikutsertakan peran pembacanya. Sedangkan estetis adalah proses penerimaan dengan mata ataupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa akan sebuah objek atau penampakan.

 Disebut sebagai resepsi estetis karena di dalam pelaksanaan tersebut memang tidak terlepas dari adanya aspek-aspek estetis, baik itu internal ataupun eksternal. Karena itulah, dalam artikel ini akan dibahas mengenai Musabaqah Tilawah al-Qur’an dari segi keindahan serta aspek estetisnya.

Sejarah Musabaqah Tilawah Al-Qur’an (MTQ) di Indonesia

Di Indonesia, tilawah al-Qur’an telah menjadi bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Buktinya antara lain dalam berbagai upacara telah terbiasa dibuka dengan pembacaan alQur’an, terdapat berbagai pengajian, kursus, diklat seta kegiatan lain yang bersifat individual atau training center tentang tilawah al-Qur’an, dan juga adanya penyelenggaraan perlombaan (musabaqah) tilawah al-Qur’an.

Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) adalah lomba membaca al-Qur’an dalam lagu. Di Indonesia, MTQ diperkenalkan sejak tahun 1940, bermula dari berdirinya Jam’iyyah al-Qurra’ wa alHuffadz, sebuah institusi yang didirikan oleh Nahdhatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Kemudian beberapa tahun berselang, ketika Menteri Agama dijabat oleh KH. Muhammad Dahlan (1967-1971), MTQ mulai dilembagakan secara nasional.  Beliau bersama Prof. KH. Ibrahim Hossen adalah pemprakarsa pertama penyelenggaraan Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional. Kedua tokoh ini juga bersama KH. Zaini Miftah, KH. Ali Mansyur dan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali pada 23 Januari 1970 membentuk yayasan Ihya ‘Ulumuddin, yang setahun kemudian merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ), sebuah perguruan tinggi yang secara khusus mengajarkan seni baca dan menghafal al-Qur’an serta mengkaji ilmu – ilmu yang ada di dalamnya. Adapun Lembaga Pengembangan Tilawah al-Quran (LPTQ) adalah organisasi di dalam Kementerian Agama yang bertanggung jawab menyelenggarakan acara MTQ tersebut. Para pembaca (baik pria dan wanita) dari seluruh Indonesia dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi kompetisi ini, serta dapat memilih kontestan mereka dan menyiapkan delegasi untuk kompetisi tersebut.

Pada bulan Ramadhan tahun 1968, MTQ pertama kali diselenggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan. Kala itu hanya melombakan tilawah dewasa saja, yang melahirkan Qari Ahmad Syahid dari Jawa Barat dan Muhammadong dari Sulawesi Selatan. Khusus untuk MTQ Wartawan (pekerja jurnalis baik cetak maupun elektronik) diselenggarakan secara rutin tiga tahun sekali.

Dari fenomena musabaqah ini, setidaknya ada dua macam misi yang hendak diwujudkan oleh umat Islam Indonesia. Pertama, syi’ar Islam. Walaupun niat luhur di balik kegiatan semarak ini adalah demi Allah semata, musabaqah ini tidak lepas dari dimensi sosialnya sebagai sebuah eksibisi. Kedua, tujuan internal. Dengan menyelenggarakan perlombaan rutin yang mempertandingkan ‘jago-jago’ antar wilayah dari mulai tingkat kecamatan hingga tingkat internasional, diharapkan agar masing – masing pemegang kebijakan di semua wilayah mendorong dan mendukung aktivitas-aktivitas pembelajaran Al Quran.

Perkembangan Musabaqah Tilawah Al-Qur’an (MTQ) dari Masa ke Masa

Dalam sejarah perkembangannya, MTQ merupakan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi dan lembaga swasta dan masyarakat. Namun pada perkembangan selanjutnya, kegiatan tersebut diadaptasi dan diorganisasi oleh pemerintah. Sejarah mencatat, pada tahun 1966 telah lahir BAKOPTIQ (Badan Koordinasi Pembinaan Tilawah al-Qur’an) di Sumatera Selatan. Badan tersebut bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap tilawah al-Qur’an.

Namun kemudian, BAKOPTIQ berubah nama menjadi LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawah al-Qur’an) yang masih eksis dan bertahan sampai sekarang. Dalam usahanya mengembangkan tilawah al-Qur’an, pemerintah membentuk PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an) di Lebak Bulus, Jakarta. PTIQ ini hanya khusus untuk mahasiswa laki-laki. Sedangkan untuk mahasiswa perempuan, dibentuklah IIQ (Institut Ilmu al-Qur’an) yang bertempat di Ciputat, Jakarta.

Dalam catatan, untuk pertama kali MTQ diselenggarakan di Makassar (Sulawesi Selatan) pada bulan Ramadhan 1968. Sedangkan MTQ kedua dilaksanakan di Lapangan Merdeka Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1969, yang mengantarkan tuan rumah meraih berbagai prestasi dan kejuaraan, seperti H. Mawari dan lain-lain, sehingga Kalimantan Selatan selalu diperhitungkan di berbagai kegiatan. Selanjutnya MTQ ketiga diselenggarakan di Jakarta. Kini MTQ sudah berlangsung selama 24 kali. MTQ ke-24 dilaksanakan di Maluku pada bulan Juni 201210, dan MTQ nasional ke -25 diadakan di Batam tanggal 07-16 Juni 2014. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan MTQ juga dilaksanakan oleh berbagai instansi atau organisasi secara khusus, seperti MTQ Mahasiswa Nasional yang telah berlangsung sebanyak 12 kali, dan terakhir dilaksanakan oleh Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Sulawesi Selatan pada tahun 2012.

Pada mulanya, Musabaqah Tilawah al-Qur’an hanya mempertandingkan daya tarik suara atau keindahan dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an saja. Penamaan Musabaqah Tilawah al-Qur’an pun secara historis dapat dipahami dari kegiatan yang pertama kali dipertandingkan dalam MTQ ini. Selain Musabaqah Tilawah al-Qur’an, event lain yang sejenis dan turut diadakan adalah Seleksi Tilawah al-Qur’an (STQ). Bedanya, dalam STQ ini bidang/cabang lomba yang diadakan cenderung lebih sedikit. Semenjak launching pertamanya tersebut, cabang-cabang lomba dalam MTQ mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada awalnya, pada tahun 1968—tahun pertama diadakan—, cabang lomba yang dikompetisikan baru sebatas lomba tilawah al-Qur’an tingkat dewasa. Berbeda dengan sekarang yang telah memiliki beberapa macam lomba, yakni Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ), Musabaqah Hifdz al-Qur’an (MHQ), Musabaqah Syarh al-Qur’an (MSQ), Musabaqah Fahm alQur’an (MFQ), Khath al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, serta Musabaqah Menulis Ilmiah al-Qur’an (M2IQ).

Pelaksanaan Event Musabaqah Tilawah Al-Qur’an

Tujuan pokok dan fungsi MTQ adalah sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan pengamalan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari bagi umat Islam, khususnya bagi semua yang ikut serta dalam kegiatan MTQ. Oleh karena itu, semua aspek-aspek yang mempunyai tujuan ke arah tersebut dilombakan dalam MTQ. Ide dasarnya adalah merealisasikan aktivitas membaca, menghafal, menulis, memahami, menafsirkan, dan menyampaikan tuntunan Al-Qur’an secara lebih menyeluruh . Jenis-jenis perlombaan dalam MTQ disebut dengan cabang perlombaan, yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :

NO .

NAMA CABANG

GOLONGAN

I

Tilawah al-Qur’an

1

Tartil Putra

2

Tartil Putri

3

Anak-anak Putra

4

Anak-anak Putri

5

Remaja Putra

6

Remaja Putri

7

Dewasa Putra

8

Dewasa Putri

9

Cacat Netra Putra

10

Cacat Netra Putri

11

Qiroat Putra

12

Qiroat Putri

II

Hifzh al-Qur’an

13

1 Juz dan Tilawah Putra

14

1 Juz dan Tilawah Putri

15

5 Juz dan Tilawah Putra

16

5 Juz dan Tilawah Putri

17

10 Juz Putra

18

10 Juz Putri

19

20 Juz Putra

20

20 Juz Putri

21

30 Juz Putra

22

30 Juz Putri

III

Tafsir al-Qur’an

23

Bahasa Arab Putra

24

Bahasa Arab Putri

25

Bahasa Indonesia Putra

26

Bahasa Indonesia Putri

27

Bahasa Inggris Putra

28

Bahasa Inggris Putri

IV

Syarh al-Qur’an

29

Regu / Gabungan Putra / Putri

V

Fahm al-Qur’an

30

Regu / Gabungan Putra / Putri

VI

Khat al-Qur’an

31

Naskah Putra

32

Naskah Putri

33

Dekorasi Putra

34

Dekorasi Putri

35

Hiasan Mushaf Putra

36

Hiasan Mushaf Putri

37

Putra

38

Putri

Total

Cabang : 7 Golongan : 38

Terdapat perbedaan antar cabang lomba yang dipertandingkan dalam MTQ dan STQ. Dalam STQ, lomba yang dipertandingkan hanya Tilawah al-Qur’an, Tahfidz al-Qur’an, dan Tafsir al-Qur’an bi alArabiyyah, sementara dalam MTQ, selain ketiga cabang lomba tersebut, juga mempertandingkan Syarh al-Qur’an, Khath al-Qur’an, dan Cerdas Cermat al-Qur’an (CCQ) atau Musabaqah Fahm al-Qur’an (MFQ). Selanjutnya, MTQ ada lebih dulu, persisnya di awal tahun 70-an, sementara STQ baru ada sejak 1978. Digulirkannya STQ saat itu untuk mengisi aktivitas keislaman di tahun-tahun yang tidak diselenggarakan MTQ. Itu dimungkinkan lantaran MTQ diselenggarakan setiap dua tahun sekali. MTQ berkembang mulai dari kampung-kampung, kemudian kecamatan, kabupaten, hingga propinsi. Para wakil propinsi inilah yang akan berlomba di tingkat nasional. Sementara STQ, tidak melalui seleksi kampung, tapi langsung dari utusan propinsi.

Tata cara pelaksanaan MTQ tingkat nasional sama halnya dengan tata cara pelaksanaan tingkat regional (kecamatan, kabupaten ataupun provinsi). Ketika tingkat nasional, para pemenang yang terjaring di tingkat provinsi siap dikirim ke tingkat yang lebih bergengsi, yakni tingkat nasional, dihadiri dan dimeriahkan oleh para kafilah dari semua provinsi di Indonesia. Sementara untuk tingkat internasional, yang diperlombakan hanya ada dua cabang, fokus pada bacaan dan hafalan, yakni Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) serta Musabaqah Hifdz al-Qur’an (MHQ).

Festivalisasi Al-Qur’an sebagai Salah Satu Bentuk Resepsi Estetis

 Fenomena Musabaqah Tilawah al-Qur’an ini terbilang menarik, khususnya di Indonesia. Jika dilihat dari penamaannya, seakan hanya satu bidang saja yang diperlombakan, yakni tilawah (seni baca) al-Qur’an. Padahal, dalam realitanya, cabang lomba yang dikompetisikan di dalam acara ini tidak hanya satu, akan tetapi disertai dengan cabang lomba yang lain. Hal ini memang tidak terlepas dari aspek historis penamaan awal event ini sampai akhirnya mulai berkembang sampai sekarang. Adanya festivalisasi atau pelaksanaan Musabaqah Tilawah al-Qur’an ini tidak lepas dari adanya kerja sama dan dukungan dari Negara/pemerintah yang diwakili Kementerian Agama untuk menyokong kesuksesan terselenggaranya agenda rutin tersebut.

Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadarma Ali, dalam sambutannya mengatakan bahwa “MTQ memiliki nilai yang strategis sebagai warisan budaya bangsa. MTQ merupakan ikon syiar Islam dalam mempererat silaturrahim antar elemen bangsa dan mempererat kerukunan. Menurutnya, Indonesia adalah satu-satunya negara yang menyelenggarakan Musabaqah Tilawah alQuran secara rutin dari mulai tingkat desa sampai tingkat nasional”.

Pelaksanaan MTQ Nasional baru-baru ini dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2016 di Lombok, NTB. Tema yang diusung adalah mewujudkan revolusi mental dalam rangka pengamalan Islam rahmatan lil ‘alamin. Tema ini sesuai dengan revolusi mental yang merupakan program Nawacita Presiden Joko Widodo. Penekanan kejujuran dan Integritas adalah bagian dari revolusi mental. Melalui MTQ ini diharapkan bisa diterapkan karakter Islam yang damai, membawa kemashlahatan bagi umat.

Lukman Hakim, Menteri Agama RI era Joko Widodo mengatakan bahwa MTQ tidak hanya sekedar ajang kompetisi, tetapi juga regenerasi Qur’ani. Tidak hanya tentang membaca al-Qur’an, tetapi juga memahami dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Islam juga tidak hanya bagi individu atau sekelompok orang, tetapi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, agama yang penuh kasih sayang dan anti kekerasan.

 Begitu juga jika dilihat dari misi dibentuknya Lembaga Pengembangan Tilawah al-Qur’an (LPTQ), yakni untuk mewujudkan penghayatan dan pengamalan al-Qur’an dalam masyarakat Indonesia. Diantara sekian programnya adalah usaha peningkatan kemampuan baca tulis huruf al-Qur’an serta menyelenggarakan MTQ dari tingkat daerah sampai tingkat nasional. Akan tetapi, jika MTQ ini dilihat dari kecenderungannya kepada resepsi estetis terhadap al-Qur’an, maka apa sebenarnya esensi dari penyelenggaraan acara tersebut? Apa saja yang sudah didapat? Apakah hanya sekedar rutinitas tanpa makna? Apakah sudah benar-benar sesuai dengan misi awal atau tidak?

Fakta menyatakan bahwa Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) dianggap sebagai sebuah kegiatan ibadah bagi Muslim. Itulah implementasi keberadaan MTQ bila digambarkan secara universal. Tujuan dalam kegiatan ini adalah syiar Islam atau ibadah melalui lantunan pembacaan ayat suci al-Quran. Dapat dikatakan bahwa MTQ merupakan ibadah yang divisualisasikan lewat seni. Jangkauan minimalnya seperti ini, bila semua orang tak sanggup melakukan upaya untuk mendalami keluasan makna dari al-Qur’an, maka sekurang-kurangnya berilah kesempatan bagi orang-orang untuk meneguk keagungan firman Tuhan itu dengan membacanya. Karena ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai kemukjizatan dari segi bayani. Betapa indah firman Tuhan itu dilantunkan dengan tartil, dengan suatu aturan baca yang sesuai dengan nada dan ritme pembawaannya yang tepat, apalagi jika lantunan firman itu dibawakan dengan suara merdu dalam lagu dan gaya bahasa asalnya yang memang indah. Tidak mengherankan jika MTQ hidup mengakar dan tumbuh dalam budaya Nusantara, meski mereka bangsa ‘ajam (non-arab).

 Jika dilihat dari tujuannya yakni untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan umat Islam melalui jalur al-Qur’an, MTQ dirasa sudah cukup tepat untuk menjadi wadah mewujudkannya. Dengan adanya penyelenggaraan MTQ—dan juga STQ—, muncul sekolah-sekolah maupun pesantren di masyarakat yang khusus mengkaji al-Qur’an, baik hifzh al-Quran (hafalan) maupun tilawah al-Quran. Jadi seandainya tidak ada kompetisi MTQ, belum tentu ada sekolah-sekolah maupun pesantren yang terfokus kepada seni baca dan menghafal al-Qur’an. Meskipun diakui, dampak dari upaya peningkatan kualitas keberimanan dan keberislaman dari penyelenggaraan MTQ dinilai masih terbatas dan belum maksimal.

Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) adalah sebuah perlombaan atau kompetisi al-Qur’an yang dibalut dengan festivalisasi. Kata “festival” (dari bahasa Latin) berasal dari kata dasar “festa” atau pesta dalam bahasa Indonesia. Festival biasanya berarti “pesta besar” atau sebuah acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu, atau juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting atau bersejarah, atau pesta rakyat. Bisa pula berarti sayembara atau perlombaan.  Ketika sebuah acara itu dikatakan sebagai sebuah bentuk festivalisasi, ataupun istilahnya “pesta rakyat”, maka di sana pasti akan ada agenda-agenda lain di luar agenda pokok, seperti halnya pelaksanaan MTQ ini. Pada acara pembukaan serta penutupan selalu ada penampilan ataupun berbagai macam atraksi yang biasanya ditampilkan oleh tuan rumah sesuai dengan kebudayaan dan kesenian daerah masing-masing.

Menarik memang, jika pembahasan mengenai al-Qur’an sebagai kitab suci dihubungkan dengan resepsi estetis di masyarakat. Cerminan estetis ini bisa dilihat dari dua aspek, yakni dari segi internal seperti dalam lomba seninya itu sendiri, seperti baca al-Qur’an dengan mujawwad, seni tulis alQur’an (kaligrafi), seni rebana (ketika STQ), ataupun dalam penyampaian pesan al-Qur’an dalam Musabaqah Syarh al-Qur’an (MSQ) dalam performance masing-masing. Sedangkan dari aspek eksternal, bisa kita lihat dari adanya parade-parade, pawai ta’aruf, performance, paduan suara, dan juga pembuatan mimbar dan panggung. Dari segi mimbar dan panggung, bisa dilihat sisi kreativitas serta ungkapan ekspresi yang mencerminkan seni, baik itu ornamen-ornamennya, maupun juga hiasan kaligrafi di sekelilingnya. Bahkan terkadang ornamen tersebut disesuaikan dengan maskot ataupun simbol kekhasan daerah atau kota masing-masing.

 Dalam ilmu psikologi, tidak bisa dipungkiri, reliji yang dibutuhkan untuk ibadah telah mengakar sebagai perilaku yang universal, baik secara individu atau kelompok, semua manusia pada umumnya akan merefleksikan berbagai hal yang bersifat spiritual. Selain itu, adanya sensitivitas estetik yang dalam praktik ras manusia sehari-hari selalu tampak melalui perhatian terhadap keindahan. Manusia bergerak oleh karena pengalaman yang indah juga dari keindahan yang diciptakan. Dua komponen ini tercermin dalam penyelenggaraan Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ). Pekan perlombaan ini dirasa kurang kalau tidak disertai dengan adanya sisipan aspek kesenian yang melambangkan keindahan, dan dari situlah dapat menimbulkan daya tarik tersendiri terhadap adanya festival ini. Menurut Mukti Ali, al-Qur’an itu mempunyai dimensi yang sangat luas dan dapat menimbulkan tiga hal sekaligus, yaitu seni, ilmu dan agama. Ketiga hal ini saling berkaitan. Dengan ilmu dan seni, kehidupan beragama menjadi lebih sempurna. Dengan seni hidup menjadi maju dan indah, dengan agama hidup menjadi bermakna dan bahagia. Tanpa seni hidup menjadi kasar, tanpa ilmu hidup menjadi sulit, dan tanpa agama hidup menjadi tidak bermakna. Seni tanpa agama juga akan menjadi tidak terarah.

Banyak sekali ragam resepsi atau penerimaan masyarakat Muslim terhadap al-Qur’an dikarenakan adanya persinggungan antara tradisi seni dengan tradisi keagamaan. Dalam menghubungkan antara pengalaman estetik dengan pengalaman keagamaan erat kaitannya dengan estetika dan spiritualitas dalam Islam, selain itu karena al-Qur’an merupakan sebuah keindahan yang metafisik, serta proses kebergaulan Muslim terhadap kitab sucinya, dan salah satunya adalah ajang kompetisi al-Qur’an ini. Paling tidak, dengan adanya festivalisasi al-Qur’an yang dibalut dengan seni ini bisa mendorong dan memicu umat Islam di Indonesia untuk lebih mencintai kitab suci mereka.

Ketika ajang kompetisi al-Qur’an ini dilihat dari bentuk sebagai sebuah resepsi estetis, apakah sisi religiusitasnya masih tetap dipertahankan atau tidak? Hal inilah yang cukup menjadi pergolakan di salah satu sisi. Jika kita bandingkan fenomena MTQ, khususnya realita di Indonesia, dengan negaranegara lain yang juga melaksanakan model MTQ, seperti Mesir, Arab Saudi, Iran, dan Sudan, dan beberapa negara di Asia seperti Malaysia, seakan ada perbedaan yang lumayan kontras dengan fenomena di Indonesia. Menariknya, jika di negara-negara Arab bukan tilawah-nya (bacaannya) yang menjadi prioritas, tetapi penekanannya adalah lebih kepada hafalan dan pemahaman terhadap alQur’an. Aspek tilawah itu hanya sekunder, pelengkap saja. Perbedaan ini terjadi karena faktanya, orang Indonesia lebih bisa membaca dari pada menghafal dan memahami. Di negara-negara Arab sebaliknya, banyak yang juga hafal dan mengerti, apalagi di semua institusi pendidikan di bawah naungan al-Azhar, hafalan al-Qur’an adalah salah satu materi wajib sejak tingkat SD hingga perguruan tinggi. Tak heran bila polisi, pedagang, dosen, satpam, sopir dan lainnya juga banyak yang hafal alQur’an, meski tak seluruh juz. Hal ini juga dibantu dengan dukungan pemerintah setempat yang sangat besar, termasuk dari presiden sendiri.

Begitu juga dengan masalah yang berkaitan dengan pemahaman umat Islam terhadap alQur’an. Pertama, berkaitan dengan prosentase jumlah Muslim di Indonesia yang dapat dan mampu membaca al-Qur’an, serta mampu mendalami dan mengerti kandungannya. Dari sekian persen yang dapat membaca itu, hanya sedikit yang meminati kajian dan pendalaman terhadap al-Qur’an. Kedua, masih minimnya upaya memasyarakatkan atau gerakan gemar al-Qur’an. Berbeda dengan di dunia Arab, masyarakat di sana amat menggemari al-Qur’an, apalagi di bulan Ramadhan. Tak heran bila setiap hari dapat ditemui orang membaca al-Qur’an di banyak tempat. Dengan penyelenggaraan MTQ serta diberikannya berbagai bentuk hadiah, diharapkan dapat memicu semangat umat Islam Indonesia untuk lebih mencintai dan menggemari untuk mengkaji al-Qur’an.

Penutup

Terlepas dari berbagai kekurangannya, kegiatan Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) ini patut untuk diapresiasi, mengingat dampak positif yang ditimbulkan. Dengan adanya kompetisi dan festivalisasi al-Qur’an ini, perilaku keberagamaan umat Islam diharapkan lebih muncul ke permukaan. Kegiatan ini juga sebagai bentuk resepsi estetis terhadap al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan yang diadakan mungkin akan hampa tanpa adanya “balutan” estetis di dalamnya. Hal ini juga bertujuan untuk memperkaya tradisi serta budaya yang ada di negara kita, Indonesia, dipadukan dengan nuansa Qur’ani.

Adapun para qari’ dan qari’ah tersebut seharusnya juga memahami makna ayat-ayat yang dibaca, bukan hanya sekedar menonjolkan aspek seni suara dalam membacanya saja sehingga mampu melahirkan bacaan yang tidak hanya indah dan syahdu tetapi juga disertai dengan tadabbur al-ma’ani. Ini dimaksudkan untuk menimbulkan pengaruh bagi orang yang mendengarkan, sehingga pendengar ingin mengetahui isi yang terkandung di dalamnya. Hal ini pernah terjadi pada MTQ tingkat nasional VI yang diadakan di Mataram. “………satu keluarga menyatakan masuk Islam karena pada mulanya hati mereka terketuk dengan bacaan al-Qur’an pada MTQ yang sedang berlangsung di kota itu.”

Begitu juga dengan yang terjadi pada MTQ nasional XXIV yang diadakan di Ambon pada tahun 2012 yang lalu. Pada event tersebut, ternyata tidak hanya umat Islam saja yang turut serta untuk membantu kelancaran dan suksesnya acara tersebut, tapi juga melibatkan umat non-Muslim di kota itu. Hal ini menunjukkan adanya kerja sama serta hubungan yang baik antar umat beragama, dan MTQ adalah salah satu perantara dalam hal ini.

Bagikan